Pengalaman Traveling ke Guangzhou, China
Backpacking ke Guangzhou China adalah yang kedua kalinya saya ke luar negeri, setelah Thailand (student exchange). Kali ini lagi-lagi ada hubungannya dengan kuliah, yaitu menjalankan tugas mata kuliah Pemasaran International yang diasuh oleh Prof. Rhenald Kasali.
Pernah baca tulisan Pak Rhenald berjudul Paspor? Kalau belum, tulisan tersebut bisa dibaca di sini. Intinya, Pak Rhenald ingin mahasiswanya melatih kemandirian dengan cara menugaskan mereka ke luar negeri sendiri. Berangkat sendiri, mengurus segala sesuatunya sendiri. Dengan dana yang diusahakan sendiri. Pokoknya semua biar mandiri deh.
Negaranya tidak boleh Singapura atau Malaysia, karena dianggap terlalu mudah, bisa pakai Bahasa Melayu (yang mirip-mirip dengan Bahasa Indonesia), jadi potensi tantangannya dinilai tidak terlalu memancing kemandirian untuk keluar.
Pak Rhenald ingin mahasiswanya nyasar. Makanya diminta untuk ke negara yang bahasanya beda dengan kita. At least biar bisa berusaha lebih kreatif dalam komunikasi. Dan, nyasar adalah tujuan utama, karena dengan nyasar, kita akan dipaksa berpikir mandiri dan kreatif untuk menyelesaikan masalah (menemukan jalan ke tujuan/pulang).
Itu latar belakangnya... mari lanjut ke bagian utama, yaitu...
Sebelumnya saya kira Guangzhou tidak akan jauh berbeda dengan Jakarta; kota besar, macet, ribet. Makanya dari Indonesia saya riset bener-bener tempat-tempat yang ingin saya kunjungi, sekaligus berbagai alternatif transportasi untuk ke sana.
Saya tahu di internet bahwa di Guangzhou ada Metro alias kereta bawah tanah. Tapi tidak menyangka Metronya akan seefisien itu. Selama di sana, saya kemana-mana cuma dengan naik Metro dan jalan kaki. Semua tempat wisata yang saya kunjungi tersambung dengan stasiun Metro. How convenience it is!
Ketika jalan kaki pun, tidak pernah saya temui di jalan raya ada macet seperti di Jakarta.
Sepertinya orang-orang banyak yang lebih suka menggunakan transportasi umum seperti Metro dan bus. Oh ya, dan juga di sana tidak ada motor. Yang ada sepeda listrik. Jadi yang saya rasakan polusinya juga lebih baik dibanding Jakarta.
Selain transportasinya yang maju, Guangzhou juga dipenuhi dengan gedung-gedung pencakar langit. Bahkan hostel yang saya inapi pun letaknya di lantai 7 sebuah tower apartemen.
Jalan-jalan trotoarnya besar-besar, sehingga nyaman sekali untuk pejalan kaki. Ada pedagang kaki lima, tapi tidak mengganggu orang berjalan.
Selain itu, area shoppingnya... megah sekali. Mirip dengan di New York yang saya lihat di film-film.
Secara kasar yang saya ingat biayanya sebagai berikut:
Pernah baca tulisan Pak Rhenald berjudul Paspor? Kalau belum, tulisan tersebut bisa dibaca di sini. Intinya, Pak Rhenald ingin mahasiswanya melatih kemandirian dengan cara menugaskan mereka ke luar negeri sendiri. Berangkat sendiri, mengurus segala sesuatunya sendiri. Dengan dana yang diusahakan sendiri. Pokoknya semua biar mandiri deh.
Negaranya tidak boleh Singapura atau Malaysia, karena dianggap terlalu mudah, bisa pakai Bahasa Melayu (yang mirip-mirip dengan Bahasa Indonesia), jadi potensi tantangannya dinilai tidak terlalu memancing kemandirian untuk keluar.
Pak Rhenald ingin mahasiswanya nyasar. Makanya diminta untuk ke negara yang bahasanya beda dengan kita. At least biar bisa berusaha lebih kreatif dalam komunikasi. Dan, nyasar adalah tujuan utama, karena dengan nyasar, kita akan dipaksa berpikir mandiri dan kreatif untuk menyelesaikan masalah (menemukan jalan ke tujuan/pulang).
Itu latar belakangnya... mari lanjut ke bagian utama, yaitu...
Ketika di Guangzhou: Pengalaman yang Mengejutkan sekaligus Mengesankan
Guangzhou mengejutkan saya, bahwa China sebenarnya sudah sangat maju (dibandingkan Indonesia). Terutama terasa sekali di bidang transportasinya.Sebelumnya saya kira Guangzhou tidak akan jauh berbeda dengan Jakarta; kota besar, macet, ribet. Makanya dari Indonesia saya riset bener-bener tempat-tempat yang ingin saya kunjungi, sekaligus berbagai alternatif transportasi untuk ke sana.
Saya tahu di internet bahwa di Guangzhou ada Metro alias kereta bawah tanah. Tapi tidak menyangka Metronya akan seefisien itu. Selama di sana, saya kemana-mana cuma dengan naik Metro dan jalan kaki. Semua tempat wisata yang saya kunjungi tersambung dengan stasiun Metro. How convenience it is!
Ketika jalan kaki pun, tidak pernah saya temui di jalan raya ada macet seperti di Jakarta.
Sepertinya orang-orang banyak yang lebih suka menggunakan transportasi umum seperti Metro dan bus. Oh ya, dan juga di sana tidak ada motor. Yang ada sepeda listrik. Jadi yang saya rasakan polusinya juga lebih baik dibanding Jakarta.
Selain transportasinya yang maju, Guangzhou juga dipenuhi dengan gedung-gedung pencakar langit. Bahkan hostel yang saya inapi pun letaknya di lantai 7 sebuah tower apartemen.
Jalan-jalan trotoarnya besar-besar, sehingga nyaman sekali untuk pejalan kaki. Ada pedagang kaki lima, tapi tidak mengganggu orang berjalan.
Selain itu, area shoppingnya... megah sekali. Mirip dengan di New York yang saya lihat di film-film.
Pelajaran dari Guangzhou
Jalan-jalan ke Guangzhou ini mengajari saya beberapa hal:- Pertama jelas kemandirian. Saya mengurus semuanya sendiri, dari tiket pesawat, visa, hostel, itinerary, dsb.
- Kedua, kreativitas. Orang yang saya temui di sana tidak banyak yang fasih berbahasa Inggris. Jadinya, tidak jarang saya harus memakai berbagai cara kreatif untuk berkomunikasi, seperti menggunakan aplikasi translator, pakai gerak tubuh, pakai maps, dll. Tidak jarang saya juga kesasar karena setelah tanya ke orang, ternyata petunjuk yang diberikan pun salah. Tapi Alhamdulillah pada akhirnya selalu bisa sampai pada tujuan.
- Ketiga, belajar menjadi organized. Saya menyiapkan semuanya dengan rapih semenjak dari Indonesia. Terutama tentang itinerary sih. Karena seperti yang kamu tahu, di sana Google, Facebook, dan beberapa situs lain di blok. Jadi semua saya riset dan persiapkan dengan matang di Indonesia. Hasilnya, di sana enak. Saya bisa memanfaatkan waktu dengan baik. Pagi sudah jelas mau kemana. Malem tenang tinggal istirahat dan ngobrol-ngobrol dengan orang di hostel.
Biaya Backpacking ke Guangzhou
Biaya yang saya keluarkan untuk ke Guangzhou tidak terlalu mahal karena dilakukan dengan gaya backpacker.Secara kasar yang saya ingat biayanya sebagai berikut:
- Tiket PP AirAsia Jkt-Guangzhou: 1,8 jt
- Visa: 500rb
- Hostel 3 hari: 400rb
- Biaya selama di sana (makan, transport, wisata): 1,5 jt
- Total: 3,9 jt
Ternyata tidak terlalu mahal ya, Hostel 3 hari: 400rb itu lebih murah dibanding disini. Eh hostel itu hotel kan?
ReplyDelete